Sabtu, 17 Maret 2018

Tanya AHWAL AL-SYAKHSIYYAH, "Adakah 'Dosa Warisan' Dalam Islam?"

Konsultasi Hukum Keluarga Islam
oleh. Dr. Azi Ahmad Tajudin, M.Ag

Adakah 'Dosa Warisan' Dalam Islam?

Assalamualaykum.. Pa ust. Sy ibu rumah tangga sdh dikaruniai 2 org putri. Beberapa bulan yg lalu ibu sy menyatakan hal yg membuat sy sngt kecewa bhw sy adlh anak yg dihasilkan diluar nikah, sementara saat sy menikah yg menjadi wali adlh ayah biologis sy, jd ibu sy bilang prnikahan sy tdk sah dan harus mnikah ulang dg suami, dan akhirnya sy mnikah ulang dg suami. apa harus sprti itu pa Ust? Sementara skrg sy sdh punya 2 anak. Dan ibu bilang putri2 sy kelak saat menikah tdk bs diwalikan olh suami ( bapa kandungnya ). Sy dan suami sangat kecewa knp ibu br bilang skrg!!!!!!! Apa benar dlm islam ada dosa yg diwariskan sehingga suami sy hrs kena imbas dr dosa yg org tua sy lakukan...... Lalu apa brhak sy membenci org tua sy atas perbuatannya? Mohon penjelasannya pa Ust. Trima kasih
<cacadanlulu@gmail.com

Wassalamualaykum warahmatullohi wabarakatuh, Ibu yang dirahmati Allah, doa kami selalu teriring semoga ibu dan keluarga senantiasa berada dalam lindungan Allah swt. Pertama kami turut prihatin atas perbuatan kedua orang tua ibu yang telah melakukan zina, dan zina dalam hukum pidana Islam termasuk tindak kejahatan (jarîmah) yang sanksinya telah ditetapkan oleh Allah (mahdûd) dalam Al-Qur’an. Zina termasuk salah satu dosa besar yang sudah diharamkan oleh Allah swt berdasarkan nash-nash al-Qur’an yang bersifat Qath’i (pasti). Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an Surat an-Nur[24]: 2. Semoga Allah Swt. senantiasa mengampuni dosa kedua orang tua ibu.

Menurut pendapat kami, pernikahan ibu dengan suami sah hukumnya, sebab secara zhahir dan secara hitungan waktu, ketika ibu menikah dengan suami, kami yakin pernikahah ibu telah memenuhi syarat dan rukun nikah, apalagi jika nikanya resmi dicatat dalam lembaran negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan No.1 tahun 1974.  Akad nikah yg telah ibu lakukan sah secara aturan agama (fiqih) dan aturan negara (undang-undang). Terkait setelah sekian tahun menjalani rumah tangga kemudian menyusul kabar berita  bahwa ibu terlahir hasil hubungan tidak sah (baca:zina), dan kabar itu secara meyakinkan datang langsung dari ibu kandung selaku pelaku sejarah, maka secara hukum tetap saja informasi itu tidak serta merta secara sepihak dapat membatalkan (fasakh) pernikahan ibu dengan suami, karena hal itu memerlukan proses pembuktian di Pengadilan Agama secara sah dan meyakinkan berdasarkan putusan pengadilan yang mengikat. Selama belum ada putusan pengadilan yang mengikat terkait status pernikahan ibu, maka status pernikahan ibu sah secara meyakinkan dan tidak boleh ragu apalagi mengulang akad nikah secara sepihak. Hal ini berdasarkan kaidah Fiqih madzhab Syafi’I yang menyatakan,
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum Asal itu tetap seperti keadaan pada awalnya”.
Kaidah fiqih di atas menjelaskan bahwa hukum pernikahan ibu sah selama belum ada putusan hakim yang membatalkannya. Jika orang tua ibu bersih keras menyatakan batal status hukum pernikahan ibu, maka bagi ibu dan suami tinggal menunggu pembuktian saja dari kedua orang tua ibu yang menuduh secara sepihak untuk menggugat dan membuktikan dakwaannya di Pengadilan Agama. Hal ini berdasarkan kaidah hukum acara yang menyatakan:
البينة على المدعي واليمين على من أنكر
“bukti itu bagi penggugat dan sumpah bagi tergugat.”
Dan jika setelah proses persidangan di pengadilan ternyata terbukti, maka langkah selanjutnya ibu dan suami tinggal melaksanakan perintah hakim yang jelas sudah mengikat, selama belum ada, maka status pernikahan ibu kembali ke hukum asalnya.

Dari penjelasan di atas, dapat diambil hikmah yang sangat penting dan berharga yaitu perihal fungsi dan keberadaan negara melalui lembaga Peradilan harus hadir dalam menyelesaikan konflik dan sengketa yang menimpa anggota masyarakat. Disanalah peran peradilan sebagai perpanjangan tangan dari negara diperhitungkan keberadaannya dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah masyarakat dari mulai urusan privat (pribadi) sampai urusan publik, baik yang bersifat perdata atau pidana. Oleh karena itu, jika negara tidak hadir dalam urusan ini, atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka yang akan terjadi adalah orang secara gegabah akan mudah menuduh orang lain bersalah tanpa proses hukum, dan jika hal ini terjadi di tengah-tengah masyarakat, maka akan lahir suatu keadaan yang sering diistilahkan degan “main hakim sendiri.”

Maka disanalah keberadaan negara menjadi penting, sebab menurut Imam al-Mawardi negara berfungsi untuk mewujudkan kemaslahatan dengan cara menjaga urusan agama dan mengurus urusan dunia (li hirâsah al-Dîn wa siyâsah al-Dunyâ).
Selanjutnya terkait dengan status hukum keturunan hasil pernikahan ibu tetap dinyatakan sah, sebab status hukum pernikahannya sah. Perlu di ingat, bahwa dalam ajaran Islam tidak dikenal istilah dosa turunan sebab al-Qur’an menyatakan,
ولا تزر وازرة وزر أخري
“Seseorang tidak dapat menanggung beban dosa orang lain.”
Wallahu a'lam bi al-Shawab

hmjas.staimuttaqien

Author & Editor

semua data atau semua postingan yang ada pada halaman blog ini bukan sepenuhnya hasil karya admin, admin akan selalu mencantumkan sumber hasil karya atau informasi yang di posting. Tetapi untuk informasi yang tidak ada sumbernya berarti itu admin yang buat :)... semoga setiap postingan yang ada dapat bermanfaat. terimakasih.

0 komentar:

Posting Komentar