Sabtu, 17 Maret 2018

Tanya AHWAL AL-SYAKHSIYYAH "(HUKUM BERINTERAKSI DENGAN ‘AYAH TIRI’ DALAM ISLAM)"

hmjas.staimuttaqien

KONSULTASI HUKUM KELUARGA ISLAM

HUKUM BERINTERAKSI DENGAN ‘AYAH TIRI’ DALAM ISLAM

Oleh. Dr. Azi Ahmad Tadjudin, M. Ag.

assalamualaikum wr. wb.

ustad adakah perbedaan status ayah tiri dalam islam. Bagaimana Islam mengatur interaksi dengan keluarga ayah tiri baik yang laki-laki maupun yang perempuan. jazakallah khoiron.

Lukman. Sbg lukman_computer@hotmail.com

Wassalamu’alaykum wr.wb. Saudara Lukman Hafizhakalloh, perlu difahami terlebih dahulu ada beberapa istilah dalam Islam yang tidak selalu memiliki arti yang tepat dalam bahasa indonesia. Terkadangan ada beberapa kalimat dalam bahasa Arab yang sulit diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, karena istilah itu tidak memiliki padanan yang sama. Hal ini terjadi karena setiap bahasa memiliki rasa yang berbeda dengan bahasa lain dan bahasa lahir dari budaya dan kebiasaan masyarakat tertentu. Inilah alasan mengapa jika mempelajari Ajaran Islam, para ulama begitu disiplin selalu mendefinisikan setiap objek pembahasan keilmuan diawali dengan definisi etimologi dan termininologi Syari’i. Hal ini penting untuk difahami mengingat dengan mendefinisikan kalimat secara tegas (aspek cakupan secara umum dan khusus), akan melahirkan satu istilah yang kuat dan memiliki basis keilmuan (epistemologi) yang kokoh. Sehingga, jika dikemudian hari muncul istilah baru yang dinisbatkan kepada ajaran Islam, maka akan terlihat dengan jelas bahwa istilah itu bukan lahir dari ajaran dan konsep Islam. Maka yang akan terjadi adalah ‘islamisasi budaya’, seperti muncul istilah, Bank Islam, Leasing Islam, Asuransi Islam, Demokrasi Islam. Dalam hal yang sama tidak pernah ada istilah seperti Baitul Mal Islam, Qardh Islam, Takaful Islam, Syuro Islam, sebab istilah-istilah itu sudah memiliki akar keilmuan dalam Islam. Namun jika ada istilah yang disandarkan kepada kata Islam, seperti Daulah Islam, Tsaqofah Islam dan  Din al-Islam, itu untuk menjelaskan sekaligus membedakan bahwa ada konsep dan ajaran yang lahir dari ideologi selain Islam, artinya ada Daulah, Tsaqofah, Din yang konsep ajarannya lahir dari ideologi kapitalisme atau marxisme.
Istilah Ayah atau ibu tiri tidak dikenal dalam literatur fiqih Islam. Dalam fiqih Islam hanya dikenal Ab[un] (ayah) dan umm[un] (ibu). Dalam hukum Islam orang yang terikat akad nikah dengan ibu kandung, maka secara hukum ia menjadi ayah dari anak-anaknya. Sehingga kedudukan ayah baik disebabkan karena keturunan atau pertalian akad nikah, tidak ada perbedaan hukum dalam mendidik dan berinteraksi dengan anak-anaknya. hal ini Allah swt. tegaskan dalam al-Qur’an Surat An-nisa: 22-23. Sedangkan hukum berinteraksi dengan keluarga laki-laki dari pihak ayah, sama hukumnya dengan berinteraksi dengan ajnabiy (laki-laki asing) harus menjaga pandangan dan aurat dihadapan mereka, yaitu seluruh bandan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Sedangkan berinteraksi dengan saudara perempuan dari ayah, hukum syara’ membatasi auratnya antara pusar dan lutut (bayna surrah wa la-Rukbah).  (lihat Rawa’i al-Bayan fi Tafsir ayat al-Ahkam. Hal. 123. Juz. II). Wallahu A’lam bi al-Shawwab.

Tanya AHWAL AL-SYAKHSIYYAH, "Adakah 'Dosa Warisan' Dalam Islam?"

hmjas.staimuttaqien

Konsultasi Hukum Keluarga Islam
oleh. Dr. Azi Ahmad Tajudin, M.Ag

Adakah 'Dosa Warisan' Dalam Islam?

Assalamualaykum.. Pa ust. Sy ibu rumah tangga sdh dikaruniai 2 org putri. Beberapa bulan yg lalu ibu sy menyatakan hal yg membuat sy sngt kecewa bhw sy adlh anak yg dihasilkan diluar nikah, sementara saat sy menikah yg menjadi wali adlh ayah biologis sy, jd ibu sy bilang prnikahan sy tdk sah dan harus mnikah ulang dg suami, dan akhirnya sy mnikah ulang dg suami. apa harus sprti itu pa Ust? Sementara skrg sy sdh punya 2 anak. Dan ibu bilang putri2 sy kelak saat menikah tdk bs diwalikan olh suami ( bapa kandungnya ). Sy dan suami sangat kecewa knp ibu br bilang skrg!!!!!!! Apa benar dlm islam ada dosa yg diwariskan sehingga suami sy hrs kena imbas dr dosa yg org tua sy lakukan...... Lalu apa brhak sy membenci org tua sy atas perbuatannya? Mohon penjelasannya pa Ust. Trima kasih
<cacadanlulu@gmail.com

Wassalamualaykum warahmatullohi wabarakatuh, Ibu yang dirahmati Allah, doa kami selalu teriring semoga ibu dan keluarga senantiasa berada dalam lindungan Allah swt. Pertama kami turut prihatin atas perbuatan kedua orang tua ibu yang telah melakukan zina, dan zina dalam hukum pidana Islam termasuk tindak kejahatan (jarîmah) yang sanksinya telah ditetapkan oleh Allah (mahdûd) dalam Al-Qur’an. Zina termasuk salah satu dosa besar yang sudah diharamkan oleh Allah swt berdasarkan nash-nash al-Qur’an yang bersifat Qath’i (pasti). Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an Surat an-Nur[24]: 2. Semoga Allah Swt. senantiasa mengampuni dosa kedua orang tua ibu.

Menurut pendapat kami, pernikahan ibu dengan suami sah hukumnya, sebab secara zhahir dan secara hitungan waktu, ketika ibu menikah dengan suami, kami yakin pernikahah ibu telah memenuhi syarat dan rukun nikah, apalagi jika nikanya resmi dicatat dalam lembaran negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan No.1 tahun 1974.  Akad nikah yg telah ibu lakukan sah secara aturan agama (fiqih) dan aturan negara (undang-undang). Terkait setelah sekian tahun menjalani rumah tangga kemudian menyusul kabar berita  bahwa ibu terlahir hasil hubungan tidak sah (baca:zina), dan kabar itu secara meyakinkan datang langsung dari ibu kandung selaku pelaku sejarah, maka secara hukum tetap saja informasi itu tidak serta merta secara sepihak dapat membatalkan (fasakh) pernikahan ibu dengan suami, karena hal itu memerlukan proses pembuktian di Pengadilan Agama secara sah dan meyakinkan berdasarkan putusan pengadilan yang mengikat. Selama belum ada putusan pengadilan yang mengikat terkait status pernikahan ibu, maka status pernikahan ibu sah secara meyakinkan dan tidak boleh ragu apalagi mengulang akad nikah secara sepihak. Hal ini berdasarkan kaidah Fiqih madzhab Syafi’I yang menyatakan,
الأصل بقاء ما كان على ما كان
“Hukum Asal itu tetap seperti keadaan pada awalnya”.
Kaidah fiqih di atas menjelaskan bahwa hukum pernikahan ibu sah selama belum ada putusan hakim yang membatalkannya. Jika orang tua ibu bersih keras menyatakan batal status hukum pernikahan ibu, maka bagi ibu dan suami tinggal menunggu pembuktian saja dari kedua orang tua ibu yang menuduh secara sepihak untuk menggugat dan membuktikan dakwaannya di Pengadilan Agama. Hal ini berdasarkan kaidah hukum acara yang menyatakan:
البينة على المدعي واليمين على من أنكر
“bukti itu bagi penggugat dan sumpah bagi tergugat.”
Dan jika setelah proses persidangan di pengadilan ternyata terbukti, maka langkah selanjutnya ibu dan suami tinggal melaksanakan perintah hakim yang jelas sudah mengikat, selama belum ada, maka status pernikahan ibu kembali ke hukum asalnya.

Dari penjelasan di atas, dapat diambil hikmah yang sangat penting dan berharga yaitu perihal fungsi dan keberadaan negara melalui lembaga Peradilan harus hadir dalam menyelesaikan konflik dan sengketa yang menimpa anggota masyarakat. Disanalah peran peradilan sebagai perpanjangan tangan dari negara diperhitungkan keberadaannya dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di tengah masyarakat dari mulai urusan privat (pribadi) sampai urusan publik, baik yang bersifat perdata atau pidana. Oleh karena itu, jika negara tidak hadir dalam urusan ini, atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka yang akan terjadi adalah orang secara gegabah akan mudah menuduh orang lain bersalah tanpa proses hukum, dan jika hal ini terjadi di tengah-tengah masyarakat, maka akan lahir suatu keadaan yang sering diistilahkan degan “main hakim sendiri.”

Maka disanalah keberadaan negara menjadi penting, sebab menurut Imam al-Mawardi negara berfungsi untuk mewujudkan kemaslahatan dengan cara menjaga urusan agama dan mengurus urusan dunia (li hirâsah al-Dîn wa siyâsah al-Dunyâ).
Selanjutnya terkait dengan status hukum keturunan hasil pernikahan ibu tetap dinyatakan sah, sebab status hukum pernikahannya sah. Perlu di ingat, bahwa dalam ajaran Islam tidak dikenal istilah dosa turunan sebab al-Qur’an menyatakan,
ولا تزر وازرة وزر أخري
“Seseorang tidak dapat menanggung beban dosa orang lain.”
Wallahu a'lam bi al-Shawab